Pura Mayura dibangun oleh Raja A.A. Made Karangasem sekitar tahun 1744, ketika kerajaan Bali masih berkuasa di
Pulau Lombok. Pada mulanya area taman ini bernama
Taman Kelepug.
Nama tersebut diambil dari suara “klepug… klepug… ”, yaitu suara aliran
air dari mata air yang jatuh ke kolam. Nama tersebut kemudian diganti
ketika taman direnovasi oleh A.A. Ngurah Karangasem sekitar tahun 1866.
Nama
Mayura diambil dari bahasa Sansekerta yang berarti “burung merak”. Pada
waktu itu, masih terdapat banyak ular yang berkeliaran sehingga sangat
meresahkan masyarakat yang hendak berdoa di pura. Beberapa penasehat
kemudian menyarankan agar beternak burung merak, dan memeliharanya di
sekitar taman dan pura. Keberadaan burung merak cukup membantu dalam
mengusir ular-ular tersebut. Sehingga masyarakat dapat berdoa dengan
tenang. Sejak saat itu, nama “Mayura” mulai dipakai dan dikenal.
Ketika menginjak Taman Mayura, Anda akan
merasakan kombinasi suasana yang unik. Antara suasana alam yang asri,
suasana religius, dan sekaligus bersejarah. Wilayah taman ini terdiri
dari dua bagian, yaitu area taman dan area pura.
Di area taman, Anda akan mendapati taman
yang tertata rapi. Disini Anda akan merasakan kedamaian yang alami. Di
sekeliling taman dipagari oleh pohon-pohon Manggis, dengan rumput
hijaunya yang subur terawat. Di taman ini Anda juga akan menemui sebuah
kolam yang ditengahnya berdiri sebuah bangunan. Bangunan tersebut
bernama “Rat Kerte”, sering disebut sebagai “Gili”
(dalam bahasa Sasak berarti “pulau kecil”). Rat Kerte atau Gili tersebut
dulunya sering dipakai sebagai tempat berkumpul, melakukan
pertemuan atau rapat, serta untuk menerima tamu kerajaan.